Home Mamuju Kasat Kusut Kesejahteraan Saksi Partai Biru Tua Sulawesi Barat

Kasat Kusut Kesejahteraan Saksi Partai Biru Tua Sulawesi Barat

3,707
0
SHARE
Kasat Kusut Kesejahteraan Saksi Partai Biru Tua Sulawesi Barat

ESENSI7.COM MAMUJU- 

Pemilu 2024 telah selesai, tetapi Pilu pemilu belum usai, hal inilah yang dirasakan oleh Puluhan Mahasiswa Dari Kampus PTN dan PTS di sulawesi barat penerima jalur beasiswa aspirasi, terkait pengalamannya menjadi saksi salah satu calon anggota DPD RI yang terafiliasi secara politik dengan salah satu calon DPR-RI dari partai biru tua, tetapi tidak menerima upah kerja (Honor Saksi).

Upah kerja yang diakomodasikan oleh partai biasanya rata-rata 200 hingga 500 ribu rupiah, untuk sekali kerja pengawasan, akomodasi itu diperuntukan untuk waktu kerja, transportasi, dan konsumsi saksi partai di TPS.

Tetapi malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih. Puluhan saksi partai yang tersebar dari polman hingga Pasangkayu, ternyata memiliki Honor yang berbeda-beda dimulai dari 40.000 hingga 100.000 rupiah, bahkan ada ada banyak diantaranya yang  tidak diberikan insentif sama sekali. padahal saksi partai pemilu 2024, memilih kerja yang lebih ekstra, bahkan rata-rata hingga 12 jam kerja, beberapa diantaranya harus menetap di TPS dari pukul 07:00 WITA pada 14 februari hingga keesokan harinya 15 Februari.

Salah satu saksi yang kami wawancarai Minha (Nama samaran) (23 tahun), mengatakan bahwa upah kerja sebagai saksi partai biru tua, tidak diberikan lantaran Jatah beasiswa aspirasi, “Upah kerja, selama menjadi saksi tidak diberikan, karena katanya kami adalah penerima beasiswa.” ucap minha. 

Hal ini senada dengan apa yang disampaikan RU asal mamasa, bahkan menurutnya ada puluhan penerima KIP jalur Aspirasi yang menjadi relawan saksi Partai Biru Tua di TPS juga memiliki respon yang sama. “banyak sekali yang tidak mendapat jatah insentif, karena katanya kami adalah penerima beasiswa” ucap RU

Padahal Beasiswa aspirasi bersumber dari Anggaran Pendapatan belanja negara (APBN), yang diperuntukan untuk mahasiswa berprestasi dan mahasiswa yang tidak mampu, dibawah naungan kementrian kebudayaan dan Pendidikan (kemendikbud).

Upaya politisasi APBN untuk kepentingan elektoral Politisi adalah praktik klientelisme. Serta Pengerahan tenaga kerja yang tidak diupah adalah bentuk lain dari eksploitasi pekerja.

Ada banyak mahasiswa yang mendapat beasiswa aspirasi yang tersebar baik PTN Dan PTS Sesulawesi barat, dan diantaranya bahkan mendapat ancaman, bahwa apabila tidak terlibat sebagai saksi calon tersebut, maka beasiswa aspirasinya akan dicabut. Menurut keterangan RU (saksi partai biru tua)

RU mengatakan bahwa ada banyak kawan-kawan yang terlibat sebagai saksi di TPS, mulai dari Polman hingga Mamuju Tengah, tetapi tidak mendapatkan upah, Beberapa mahasiswa bahkan tidak berdaya menolak pengerahan untuk menjadi saksi partai oleh beberapa simpatisan dari kampus penerima beasiswa aspirasi, maupun partisan dan timses partai biru tua, dikarena ancaman dan kekhawatiran terkait pemutusan beasiswa.

Hal ini juga menjadi ketakutan RA(21) Asal Kabupaten Polewali Mandar, yang terpaksa bersuka rela sehari-semalam untuk menjadi saksi partai biru tua, karena ketakutan akan dicabut beasiswanya dikampus. Bahkan mahasiswa yang kami mintai keterangan sebelumnya memiliki kekhawatiran yang sama.

Salah seorang mahasiswa atas nama (RD) asal kabupaten mamasa, justru mendapat intimidasi  bahwa apabila calon legislatif yang diusung oleh partai biru tua tidak terpilih maka beasiswa RD akan dicabut.

Menurut salah-satu dosen ilmu politik Unsulbar. Beasiswa KIP bersumber dari anggaran publik yang disahkan dalam APBN, bukan bersumber dari kantung pribadi calon tertentu.  Beasiswa KIP hanya akan dicabut melalui berbagai faktor yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan politik praktis. Dan anggota dpr, apalagi partai dan timses tidak memiliki wewenang untuk mencabutnya hanya karena penerima tidak memberikan suara kepada mereka. Jika benar ada, sebaiknya ancaman seperti tidak perlu digubris.”

Dilain hal Ketua DPD IMM Sulawesi barat (Albar), juga menuturkan padangan bahwa politisasi Beasiswa untuk kepentingan elektabilitas personal adalah praktik klientelisme secara substansi, hanya praktik money politik seperti ini tidak dikategorikan sebagai pelanggaran pemilu oleh bawaslu.

“Jikalau benar, telah terjadi pengerahan tenaga kerja skala besar sesulbar, untuk menjadi saksi di TPS, dan tidak diberikan upah. Maka ini berbahaya, siapa saja yang sadar, mesti tersinggung.” Tutup Albar